Detail

Nama    GERAK GULUNG BUDI DAYA TI PADJADJARAN (GGBD)
Jumlah perguruan    0

GERAK GULUNG BUDI DAYA TI PADJADJARAN (GGBD)

Gerak Gulung Budi Daya Ti Padjadjaran adalah penca tradisional yang diyakini para penganutnya berasal dari Kerajaan Sunda-Pajajaran, Bogor.

Awalnya aliran ini bernama Gulung Maung, yang diajarkan secara turun-temurun melalui jalur keluarga, sehingga tertutup bagi kalangan masyarakat luas. Sifat dari aliran Gulung Maung ini sangat buas, karena Gulung Maung mempunyai prinsip “kembangna cilaka, buahna pati “, yang artinya bunganya celaka, buahnya kematian.

Dari runutan keluarga tersebut, jalur keilmuan sampai kepada seorang tokoh bernama Eyang Sarean. Ia memunyai putra bernama Eyang Guru H. Abdullah (±1800 - 1916) yang tinggal di Sukaraja, Bogor. Pada masa Eyang Guru ini nama Gulung Maung diubah menjadi Gerak Gulung Budi Daya Ti Padjajaran (GGBD).

Pada Gerak Gulung Budi Daya ti Padjadjaran tidak ada istilah guru-murid; yang ada adalah kakak adik. Penca ini sejak dulu hingga kini bersifat kekeluargaan dengan sebutan warga untuk setiap anggotanya.

Gerak Gulung Budi Daya ti Padjadjaran diajarkan oleh rakawira kepada adik-adiknya bukan dalam bentuk perguruan atau sebuah organisasi, melainkan masih menggunakan cara tradisional di mana seorang calon murid harus datang kepada rakawira untuk belajar. Untuk itu, hanya seorang rakawira, atau yang telah diberi mandat mengajar untuk mewakili rakawira, yang berhak mengajarkan amengan ini.

Setiap yang mempelajari penca ini, untuk resmi menjadi warga, akan melalui proses yang disebut Talék atau disebut juga pangeling-eling (pengingat. Dalam prosesnya, para warga akan mendengarkan pesa-pesan yang ditinggalkan oleh para leluhur dari rakawira serta perkenalan para warga baru yang nama-namanya akan disebutkan dan diberikan pernyataan keabsahan sebagai warga oleh rakawira.

Pada saat acara Talék dilaksanakan, calon warga diharuskan hadir dan mendapatkan pernyataan resmi dari rakawira di hadapan para saksi, yaitu para warga lain dan tamu undangan. Tanpa pernyataan resmi tersebut maka ke-warga-annya belum sah. Talék ini juga merupakan kesempatan mengenal lebih dekat para warga. Di akhir prosesi Talék, diadakan makan bersama di atas lembaran daun pisang yang diikuti oleh semua yang hadir, bahkan rakawira akan bersama-sama duduk sejajar dengan seluruh warga.

Secara umum, jurus-jurus GGBD sekilas terlihat sangat sederhana, tapi sebenarnya ada kerumitan dalam kesederhanaannya. Untuk bisa melakukan satu jurus dengan gaya dan cara yang telah ditentukan diperlukan ketekunan yang luar biasa dan waktu yang tidak sebentar. Pengulangan dan koreksi tiada henti harus terus-menerus dilakukan untuk mendapatkan kesempurnaan jurus.

Bersumber pada hanya satu jurus utama yang menjadi patokan bagi seluruh jurus yang lain, yaitu jurus Salancar, dibarengi filosofi dan cara bergerak, jurus ini membutuhkan waktu yang lama untuk benar-benar dikuasai dengan sempurna.

Mengupas jurus Salancar yang gerakannya sangat sederhana ini pun seakan tak ada habisnya—sebuah kegeniusan dari pencipta Salancar, jurus yang begitu sederhana tapi bisa mewakili seluruh keilmuan dalam sebuah aliran.

Namun, di balik kesederhanaan jurus-jurusnya tersembunyi keganasan. Sesuai dengan motonya, kembangna cilaka, buahna pati yang berarti “bunganya mencelakakan, buahnya mematikan”. Walau tersembunyi, dari moto tersebut sudah bisa tergambarkan apa yang ada di balik kelembutan dan gerakan yang lambat yang biasanya dilakukan oleh gerakan silat ini.


Sejarah

Sejarah GGBD berawal dari seorang tokoh bernama Eyang Guru H. Abdullah. Sebelumnya, ayah Eyang Guru, yakni Eyang Sarean, sudah dulu menciptakan sebuah aliran penca yang disebut Gulung Maung yang berprinsip “kembangna cilaka, buahna pati “. Oleh Eyang Guru, nama Gulung Maung lantas diubah menjadi Gerak Gulung Budi Daya Ti Padjajaran.

Dalam sebuah istikhoroh, Eyang Guru mendapat gambaran berupa sesosok bayi yang baru lahir, merangkak, melangkah dan berjalan. Berdasarkan gambaran tersebut Eyang Guru mengambil gerakan untuk jurus berdasarkan tangtungan solat (berdiri). Inilah awal dari jurus Salancar yang merupakan jurus inti dari aliran ini.

GGBD masih mempunyai dasar yang sama dengan Gulung Maung, akan tetapi telah dibudidayakan. Artinya, permainan ini tidak lagi sebuas Gulung Maung yang pada dasarnya seperti harimau, harus membunuh mangsanya.

Di dalam GGBD, seseorang yang telah menguasai ilmu ini diharapkan tidak akan menjadi buas seperti harimau, di samping itu aspek kemanusiaannya lebih ditonjolkan karena pada prinsipnya manusia lebih unggul dibandingkan harimau.

GGBD sebenarnya memunyai dua jenis permainan, yaitu Gerak Leang dan Gerak Sambut Pukul. Permainan ini oleh H. Ace Aom diturunkan kepada tiga puteranya. Putra pertama, H. Ahmad Kusumaningrat (1900-1985), menguasai semua jenis permainan GGBD yaitu Gerak Leang dan Gerak Sambut Pukul. Putra kedua, Muhammad Yusuf/Aki Cucu, mengusai permainan Gerak Sambut Pukul. Putra ketiga, Abdushomad/Aki Shomad, menguasai permainan Gerak Leang.

Pada awalnya, GGBD tidak lepas dari syiar Islam. Seiring dengan perkembangan zaman, permainan ini kini lebih difokuskan kepada pembinaan ahlak/moral dengan pendekatan silahturahmi yang intinya adalah persaudaraan.

Pada beladiri Gerak Gulung Budi Daya ti Padjadjaran tidak ada istilah guru murid, yang ada adalah kakak adik. Beladiri ini sejak dulu hingga saat ini bersifat kekeluargaan dengan sebutan warga untuk setiap anggotanya. Beladiri Gerak Gulung Budi Daya ti Padjadjaran diajarkan dari rakawira kepada adik-adiknya bukan dalam bentuk perguruan atau sebuah organisasi, melainkan masih menggunakan cara tradisional di mana seorang calon murid harus datang kepada rakawira untuk belajar. Untuk itu, hanya seorang rakawira atau yang telah diberi mandat mengajar untuk mewakili rakawira yang berhak mengajarkan ilmu silat ini.

Sesudah masa Eyang Guru, permainan ini diwariskan kepada H. Ace Aom Kusumaningrat (1840–1943), yang tak lain keponakan sekaligus menantu Eyang Guru, yang bertempat tinggal di Bojong Neros. H. Ace Aom Kusumaningrat adalah putra Uyut Syafei, adik dari Eyang Guru. Permainan GGBD pada masa ini mulai sedikit terbuka untuk kalangan kerabat.

Istri H. Ace Aom yang bernama Tresmen Megantara menguasai Jurus Budi Daya yang dikhususkan untuk perempuan, walau pada intinya tidak ada bedanya dengan Gerak Gulung, namun disesuaikan dengan kodrat perempuan di mana gerakan dan tenaga lebih halus.

Pada masa H. Ahmad Kusumaningrat GGBD mulai disebarkan kepada kalangan orang-orang terdekat. Permainan GGBD mulai disebarkan di kalangan umum semasa Horis Kusumaningrat (1930-1999), putra pertama H. Ahmad Kusumaningrat. Pada masa itu, banyak pendekar dan praktisi beladiri dari dalam dan luar negeri datang berguru kepadanya.

Berdasarkan kebijakan Horis Kusumaningrat sebagai pewaris GGBD, diangkatlah beberapa orang rakawira. Beberapa di antaranya adalah Tb. Isnaeni bin Isro (Kang Iyus), Heri Bahtra (Mas Heri), M. Ridwan (Kang Awang), dan Firman Hamdani (Kang Dani).

Pada Januari 2008, Tb. Isnaeni bin Isro wafat, sedangkan Heri Bahtra dan Firman Hamdani karena kesibukannya untuk sementara ini tidak aktif melatih. Saat ini yang masih aktif melatih adalah M. Ridwan, ia biasa melatih di kediamaannya di Ciomas, Bogor, dan di beberapa tempat lain.

Galeri