Aliran
Aliran Pencak Silat adalah sebuah pengetahuan mengenai Falsafah, Jurus, dan Tehnik yang diciptakan seseorang melalui olah rasa dan raga. Sebuah aliran pencak silat senantiasa dipengaruhi oleh kondisi alam dan lingkungannya, wawasan, serta keyakinan si "pencipta". Pengetahuan ini kemudian diajarkan dan diturunkan sehingga menyebar dan kemudian mempengaruhi sebuah sistem satu atau lebih dari satu perguruan pencak silat. Tidak sedikit pula sebuah perguruan meramu dan meracik sendiri beberapa aliran pencak silat yang diperolehnya dari beberapa daerah untuk menjadi ciri dan khasnya sendiri.
Aliran pencak silat yang dikenal sebagai ilmu pengetahuan dasar yang telah mempengaruhi banyak perguruan pencak silat di Indonesia terbagi berdasarkan wilayah setrategis perdagangan pada lini masa di antara masa kerajaan Hindu-Budha, Kerajaan Islam, dan masa kolonial Belanda, yakni: Sumatera Barat ada aliran silat Minangkabau seperti Silek Tuo, Silek Kumango, Silek Sitaralak, Silek Pauah dll. DKI Jakarta dikenal dengan aliran silat Betawen, Cingkrik, Beksi, dll. Jawa Barat terdapat aliran pencak silat Cimande, Cikalong, Timbangan, Sabandar, dan Sera. Silat aliran Banjaran begitu mahsyur di daerah Purbalingga dan Jawa Tengah. Di kampung Kapanjin (di Sumenep – Madura) dikenal sebuah aliran Mancak Kapanjinan atau Pencak Aliran Kapanjin. Pencak Silat sebagai ilmu beladiri tentu tak lepas juga dari warisan ilmu keprajuritan yang bergulir di lingkungan keraton seperti Aliran Joko Tole ilmu silat dari Madura warisan ilmu beladiri dari kerajaan Majapahit. Di Jawa Tengah ada aliran silat Mataram, dan Pencak Tejokusuman. Aliran Gerak Gulung Budi Daya Ti Padjadjaran diyakini para penganutnya berasal dari Kerajaan Sunda-Pajajaran, Bogor. Dan mungkin masih banyak lagi sebuah aliran pencak silat lahir dari turunan ilmu keprajuritan suatu kerajaan yang pernah berdiri dan tersebar di seluruh nusantara. Dalam rentang waktu yang panjang, aliran pencak silat yang ada di tiap daerah strategis di atas telah melahirkan beberapa sub-aliran. Sub aliran ini dilahirkan dari rangkuman beberapa aliran yang telah dipelajari si "pencipta", yang kemudian menjadi pakem atau sistem yang dipelajari dan dianut oleh sebuah perguran pencak silat yang mengembangkan cabang-cabangnya di seluruh wilayah Indonesia bahkan hingga ke manca negara.
Aliran Cimandé tumbuh dan berkembang secara tradisional di Desa Cimandé , khususnya Kampung Tarikolot, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang diwariskan dari generasi ke generasi secara turun-temurun. Umumnya disepakati bahwa tokoh yang menyebarkan aliran Cimandé adalah Ayah Kahir (Embah Kaer atau Eyang Khoer).
Dewasa ini, aliran Cimandé sudah terkenal dan tersebar di seluruh Nusantara. Perguruan-perguruan besar di luar Jawa Barat seperti Tapak Suci (Yogyakarta), Setia Hati (Jawa Timur), Pamur (Madura), dan Bakti Negara (Bali) tidak lepas dari pengaruh aliran Cimandé.
Tak hanya itu, Cimandé pun berkembang sampai ke mancanegara seperti Eropa dan Amerika Serikat.
Aliran Cikalong lahir sekitar akhir abad XIX di Cikalong Kulon, suatu distrik di Kabupaten Cianjur. Pencipta dan penyebar aliran Cikalong adalah Rd. Jayaperbata (berganti nama menjadi Rd. Haji Ibrahim setelah naik haji ke Mekah. Rd. H. Ibrahim adalah keturunan bangsawan Cianjur.
Aliran Sabandar dikembangkan di Jawa Barat oleh Muhamad Kosim (1766 – 1880) yang berasal dari Pagaruyung, Sumatra Barat. Awalnya, aliran ini berkembang di wilayah Cianjur dan Sukabumi.
Karakter aliran Sabandar cenderung defensif, yaitu menunggu diserang oleh lawan. Sikap pasang dalam menghadapi serangan biasanya menggunakan posisi menyerong dengan kuda-kuda tidak rendah, hampir seperti berdiri biasa. Kebiasaan lainnya adalah sering melangkah ke belakang jika diserang dan selalu membalasnya dalam gerak akhir si penyerang.
Ada pula aliran Sabandar yang berkembang di Sukabumi. Di Sukabumi, guru dan para pengikutnya dengan tegas mengatakan bahwa yang dipelajarinya adalah murni aliran Sabandar. Ciri khas Sabandar yang berkembang di Sukabumi adalah jurus-jurusnya sudah dipadu dengan teknik pernapasan
Aliran Sera diperkirakan berkembang di akhir abad ke-19 oleh Abah Sera. Dari mana Abah Sera berasal itu pun tidak jelas. Ada yang mengatakan berasal dari Baduy, ada pula yang meyakini berasal dari daerah Bogor. Banyak versi mengenai sejarah aliran Sera.
Sera umumnya memiliki karakter agresif. Jika diserang, maka sang pamenca menyambutnya dengan serangan balasan yang cepat dan beruntun, tidak memberikan kesempatan kepada lawan untuk kembali melakukan serangan susulan. Pada kelompok tertentu dikenal dengan prinsip cadu nakis, cadu katakis, artinya serangan lawan tidak ditangkis, akan tetapi dihindarkan dengan langkah, atau hanya dielakkan dengan memindahkan anggota badan yang diserang, kemudian seketika itu pula membalas dengan pukulan bertubi-tubi ke berbagai sasaran. Kaki juga berfungsi untuk menyerang anggota badan lawan bagian bawah.
Pada kelompok lain, selain masih dominan dengan teknik pukulan, dikenal pula teknik tendangan, patahan, maupun teknik bantingan. Bahkan ada pula teknik menggunakan berbagai jenis senjata.
Timbangan diciptakan oleh Rd. Anggakusumah (Oktober 1887 – 1997) di Bandung. Nama Timbangan diciptakan Rd. Anggakusumah sesuai filosofi yang diyakininya. Timbangan merupakan alat ukur untuk menilai sesuatu, serta menimbang salah dan benar.
Sebagai sebuah aliran, Sera cenderung eksklusif. Para ahli Timbangan umumnya tidak mencari murid, melainkan menerima murid yang datang—itu pun jika calon murid tersebut telah memenuhi kriteria tertentu.
Dalam pelaksanaannya, aliran Timbangan tidak bertujuan melumpuhkan lawan, melainkan untuk menyadarkan lawan bahwa pendekar Timbangan tidak beritikad buruk terhadapnya. Dengan demikian lawan dirangkul ke dalam suatu persahabatan serta hidup bersama dengan tentram dan bahagia.
Tahap pertama dalam menghadapi lawan adalah dengan berbicara dari hati ke hati,. Bila kata-kata yang lemah lembut dan sopan tidak diterima dan lawan tetap melakukan kekerasan, barulah pendekar Timbangan melakukan perlawanan yang bersifat jasmani.
Untuk merebut kedudukan yang ideal, pendekar Timbangan akan memberikan kesempatan kepada lawan untk membuka serangan. Arus tenaga tidak ditangkis, karena aliran Timbangan tidak mempergunakan teknik tangkisan, akan tetapi dibelokkan atau dihindarkan, sehingga kedudukan lawan menjadi labil. Dalam keadaan labil inilah segera dilakukan penutupan atau perebutan kedudukan sesuai dengan apa yang dikehendaki.
Gerak Gulung Budi Daya Ti Padjadjaran diyakini para penganutnya berasal dari Kerajaan Sunda-Pajajaran, Bogor.
Awalnya aliran ini bernama Gulung Maung, yang diajarkan secara turun-temurun melalui jalur keluarga, sehingga tertutup bagi kalangan masyarakat luas. Sifat dari aliran Gulung Maung ini sangat buas, karena Gulung Maung mempunyai prinsip “kembangna cilaka, buahna pati “, yang artinya bunganya celaka, buahnya kematian.
Dari runutan keluarga, jalur keilmuan sampai kepada seorang tokoh bernama Eyang Sarean, yang tak lain ayah Eyang Guru H. Abdullah (±1800 - 1916), di Sukaraja, Bogor. Pada masa Eyang Guru ini nama Gulung Maung diubah menjadi Gerak Gulung Budi Daya Ti Padjajaran (GGBD).
Pada Gerak Gulung Budi Daya ti Padjadjaran tidak ada istilah guru-murid; yang ada adalah kakak adik. Penca ini sejak dulu bersifat kekeluargaan dengan sebutan warga untuk setiap anggotanya. Sebutan untuk “kakak” adalah rakawira yang mengajari para adik yang disebut warga dengan cara yang masih tradisional di mana seorang calon murid harus datang kepada rakawira untuk belajar. Untuk itu, hanya seorang rakawira, atau yang telah diberi mandat mengajar untuk mewakili rakawira, yang berhak mengajarkan aliran ini.
Secara umum, jurus-jurus GGBD sekilas terlihat sangat sederhana, tapi sebenarnya ada kerumitan dalam kesederhanaannya. Untuk bisa melakukan satu jurus dengan gaya dan cara yang telah ditentukan diperlukan ketekunan yang luar biasa dan waktu yang tidak sebentar. Pengulangan dan koreksi tiada henti harus terus-menerus dilakukan untuk mendapatkan kesempurnaan jurus.
Pada tahun 1903, Ki Ageng Ngabehi Soerodiwirjo meletakkan dasar gaya pencak silat Setia Hati di Kampung Tambak Gringsing, Surabaya (kawasan dekat Tanjung Perak). Sebelumnya, gaya silat ini ia namai Djojo Gendilo Tjipto Muljo dengan sistem persaudaraan yang dinamai Sedulur Tunggal Ketjer. Pada tahun 1917, ia pindah ke Madiun dan mendirikan Persaudaraan Setia Hati di Winongo, Madiun.[4]
Silat aliran Banjaran begitu mahsyur di daerah Purbalingga dan Jawa Tengah. Kyai Busro ialah tokoh yang mempopuler silat aliran. Silat aliran Banjaran seperti dikisahkan oleh Muhammad Fuad cucu dari Kyai Busro ialah silat yang memiliki karakteristik persinggungan antara olah kanuragan, olah seni sekaligus olah spiritual.
Kateda adalah suatu aliran beladiri yang pernah punah dan penemuan kembali ajaran ini dilakukan oleh seorang pria soliter dari Himalaya yang bernama Tagashi. Pada tahun 1907, pada usia 20 tahun, Tagashi bepergian di Utara Tibet. Di sana ia menemukan buku atau naskah kuno yang terikat kulit yang ditulis dalam bentuk simbolis. Selama empat puluh tahun berikutnya dia mempelajari buku itu dan membuat awal yang intensif untuk asal usulnya, membandingkannya dengan buku-buku kuno lainnya yang disimpan oleh orang-orang Tibet, Nepal dan Himalaya.
Aliran Pencak Tejokusuman, adalah gaya pencak RM Harimurti sering juga dijuluki gaya pencak Mataram. Aliiran Tejokusuman ini dilaterbelakangi perjalanan hidup RM. Harimurti yang lahir pada tahun 1905, adalah cucu Hamengku Buwono VII dari GPH Tejokusumo dan Ray Mangkorowati. Pada perkembangannya pencak Tejokusuman ini menjadi dasar ilmu bagi Perguruan Perpi Harimurti..
Merpati putih (MP) merupakan warisan budaya ilmu keluarga Keraton Kartasura, Mataram yang dipimpin Hamangkurat II, diwariskan secara turun-temurun yang pada akhirnya atas wasiat Sang Guru ilmu Merpati Putih diperkenankan dan disebarluaskan dengan maksud untuk ditumbuhkembangkan agar berguna bagi negara.
Silat Minangkabau (bahasa Minangkabau: silek Minangkabau) adalah seni beladiri yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau, Sumatra Barat, Indonesia yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Masyarakat Minangkabau memiliki tabiat suka merantau semenjak beratus-ratus tahun yang lampau. Untuk merantau tentu saja mereka harus memiliki bekal yang cukup dalam menjaga diri dari hal-hal terburuk selama di perjalanan atau di rantau, misalnya diserang atau dirampok orang. Di samping sebagai bekal untuk merantau, silek penting untuk pertahanan nagari terhadap ancaman dari luar. Silat Minangkabau juga dapat sebagai sarana hiburan yang dipadukan dengan drama yang dinamakan Randai. Yang berisikan nasihat Dan petuah Dari Nenek Moyang yang diturunkan secara turun temurun.
Silat Beksi adalah salah satu aliran silat (Betawi: maen pukulan) khas Betawi. Aliran ini awalnya dikembangkan oleh masyarakat dari daerah Kampung Dadap, kecamatan Kosambi, Tangerang. Penemu aliran ini adalah Lie Tjeng Hok (1854-1951), seorang keturunan Tionghoa dari keluarga petani yang nenek moyangnya diperkirakan berasal dari Amoy (Xiamen), Tiongkok. Ia menggabungkan ilmu beladiri keluarganya dengan ilmu dari guru-guru Betawinya, dan mengajarkannya kepada para muridnya orang Betawi pesisir dan orang Tionghoa benteng di sekitar Kampung Dadap. Di kemudian hari, aliran silat ini juga menyebar ke daerah Petukangan Selatan, Jakarta Selatan, dan daerah Batujaya, Batuceper, Tangerang.
Silat Betawi dikenal dengan banyaknya aliran yang dimiliki. Dalam buku Maen Pukulan Khas Betawi karya GJ Nawi, dituliskan tentang adanya 317 aliran maen pukulan Betawi.
Silat Sabeni Tenabang adalah salah aliran silat (Betawi: maen pukulan) khas Betawi. Aliran silat ini diciptakan oleh H. Sabeni bin Canam, ketika Indonesia masih berada pada masa penjajahan Belanda. Aliran silat ini awalnya dikembangkan di daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Pada tahun 2019, Silat Sabeni diakui sebagai warisan budaya takbenda dari Provinsi DKI Jakarta, dengan No. Registrasi: 201900925.