Detail

Nama    SILAT BETAWI (MAEN PUKULAN)
Jumlah perguruan    3

SILAT BETAWI (MAEN PUKULAN)

Sebagai salah satu unsur kebudayaan Betawi, Silat Betawi atau yang dalam istilah lokal secara umum disebut Maen Pukulan diperkirakan lahir bersamaan dengan terbentuknya etnis Betawi itu sendiri, yaitu di sekitar pertengahan abad ke-19. Antroplog Universitas Indonesia Yasmin Zaki Shahab memperkirakan, etnis Betawi terbentuk sekitar tahun 1815-1893.

Sejumlah pihak berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil perkawinan antar etnis dan bangsa pada masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan etnis asli dengan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu dan lama hidup di Jakarta, seperti: Sunda, Melayu, Tionghoa, Jawa, Arab, Bugis, Belanda, Makassar, Portugis, & Manado.

Berbagai kelompok etnis Nusantara yang ada di Betawi kemudian berasimilasi lalu muncullah suku bangsa baru yang dikenal sebagai masyarakat Batavia (Betawi atau Jakarta asli). Hal ini didukung dengan ditemukannya data-data sejarah yang menyebut Silat Betawi dalam istilah lokal Maen Pukulan atau disingkat Pukulan, Silat dan Pencak Betawie pada akhir abad 19 hingga awal abad 20.


Sejarah

Data sejarah (lisan) didapati melalui wawancara beberapa narasumber, dimana waktu kemunculan aliran silatnya itu pada sekitar akhir abad 18 hingga awal abad 20. Ada dua variasi cerita yang merujuk pada dua budaya yang mempengaruhi lahir dan tumbuh kembangnya Silat Betawi atau Maen Pukulan, yaitu Sunda (Pencak) dan Tionghoa (Kuntao).

Silat Betawi yang banyak dipengaruhi seni bela diri dari Tatar Sunda memiliki ciri dan kesamaan cerita tentang folklor seorang perempuan yang mendapatkan ilmu silatnya ketika sedang mencuci beras di pinggir sungai, ia mendapati seekor harimau dan kera yang sedang bertarung. Cerita ini mirip dengan folklor salah satu mainstream atau aliran utama pencak silat di Jawa Barat yaitu Pencak Cimande.

Sedangkan Silat Betawi yang banyak dipengaruhi oleh seni bela diri Tionghoa memiliki cerita yang lebih variatif, yang umumnya memiliki kesamaan pada pelimpahan keilmuan dari seorang pendekar ilmu bela diri Tionghoa kepada pendekar lokal yang sebelumnya didahului oleh pertarungan.

“Tiap utan ade macannye, tiap kampung ade Jago-Jagoannye.”

Ungkapan masyarakat tradisional Betawi, yang mendeskripsikan bahwa di Tanah Betawi begitu banyak tokoh-tokoh fenomenal pelopor perlawanan yang memiliki kemampuan berlebih di bidang personaliti, terkait kharisma dan kekuatan fisik yang didukung oleh keahlian dalam ilmu bela diri pencak silat dimana masyarakat setempat menyebutnya sebagai Maen Pukulan.

Sebut saja Entong Gendut dari Condet, Sabeni Jago Tenabang, Murtado Macan Kemayoran, Entong Tolo dari Pondok Gede, KH. Nur Ali Si Singa Krawang-Bekasi, H. Darip Generalissimo Van Klender, Safi’i van Senen, dan yang cukup fenomenal dan debatable Si Pitung dari Rawabelong, serta lain sebagainya.

Ada beberapa Aliran SIlat Betawi yang eksis sampai hari ini, yakni: Silat Beksi, Silat Rahmat, Silat Lekap, Silat Tan Kam Blong, Silat Cingkrik, Silat Mustika Kwitang, Silat Pusaka Djakarta, Silat Troktok, Silat Seliwa dan Silat Sabeni Tenabang,

Sesungguhnya bermain silat tidak terlepas dari prinsip umum orang Betawi, yaitu bisa ngaji, bisa pergi haji, dan bisa bela diri. Dengan prinsip bisa ngaji, anak-anak Betawi dulu sudah diajar membaca Alquran, belajar salat, dan mempelajari ilmu-ilmu agama lainnya sehingga akan menjadi seorang muslim yang baik.

Dengan prinsip bisa pergi haji, orang-orang Betawi dulu rajin bekerja dan rajin mengumpulkan uang untuk biaya ibadah haji. Ibadah haji tidak mungkin dapat dilakukan jika tidak punya uang yang cukup, baik untuk biaya perjalanan maupun untuk biaya keluarga yang ditinggal. Kemudian dengan prinsip bisa bela diri, anak-anak Betawi juga belajar bermain silat dengan tujuan bukan hanya untuk membela diri sendiri, tetapi juga membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan.

Dari kemunculan tokoh-tokoh Silat Betawi inilah melekat sebuah istilah Jago dan Jawara, julukan ini diberikan kepada seseorang yang ahli, namun istilah ini berkembang hingga akhirnya predikat Jago dan Jawara berubah menjadi istilah yang diberikan kepada orang yang ahli ilmu bela diri (pendekar pencak silat).

Istilah yang sama dengan Jawara adalah Jagoan yang lahir di lingkungan masyarakat Betawi, sebagai sebutan untuk orang-orang berpengaruh yang duduk di pemerintahan setingkat kelurahan mewakili rakyat, yang terdiri dari tokoh-tokoh non formal seperti tokoh agama dan masyarakat dan duduk sebagai Dewan Penasehat Lurah, seperti yang ditemukan di kelurahan Menteng Atas.

Galeri