Nama | HPS Panglipur | |
---|---|---|
Aliran |
|
|
Tahun Berdiri | 1990 | |
No. Telp | - | |
Alamat | Sukasono, Sukawening, Kabupaten Garut, Jawa Barat | |
Kelurahan | Sukasono | |
Kecamatan | Sukawening | |
Kota | Kabupaten Garut | |
Provinsi | Jawa Barat | |
Website | klik disini |
HPS Panglipur
Panglipur sebuah nama organisasi perkumpulan pesilat sekaligus nama sebuah perguruan silat tradisional. Panglipur adalah salah satu seni beladiri khas Indonesia yang diperoleh dengan cara menggabungkan beberapa jurus andalan dari beberapa pendekar sezaman yang juga berasal dari bumi nusantara.
Keilmuan Panglipur merupakan merupakan perpaduan dari aliran besar di Jawa Barat dan Sumatra Barat, yaitu dari aliran-aliran sumber pencak silat di Jawa Barat yang dikenal dengan aliran Cimande (yang didirikan oleh Eyang Kahir pada tahun 1700 – 1789), aliran Cikalong (yang didirikan oleh H. Ibrahim pada tahun 1816 – 1906, perpaduan dari aliran Cimande dengan aliran yang dibawa dari Sumatera Barat oleh Bang Kari dan Bang Madi yang lebih dikenal dengan aliran Kari Madi), aliran Syabandar (yang didirikan oleh Haji Kosim pada tahun 1766-1880), aliran Sera (yang didirkan oleh Bapa Sera, tokoh dari Banten yang menggabungkan aliran Cimande dengan aliran dari Aceh), dan Aliran Betawi (yang merupakan gabungan antara aliran cimande, sera, kari madi, dan dengan bela diri lain yang dibawa oleh para pendatang dari bangsa imigran China, Arab, etc. yang menetap di Jakarta).
Dari tahun ke tahun, banyak yang berkembang berbagai cabang panglipur. Mereka tetap mengikutsertakan nama Panglipur pada nama perguruan masing-masing. Misalnya Rayi Panglipur, Sinar Panglipur, Panglipur Jembar Kencana, Panglipur Pamagersari, Panglipur Siliwangi, dst.
Sejarah
Pada tahun 1909 Abah Aleh (59) mendirikan perguruan Pencak Silat Panglipur di Kotamadya Bandung tepatnya di Gang Durman yang berada di sekitar Pasar Baru Bandung, kemudian pindah ke Jl. Imam Bonjol No. 38. Pantauan ketat pemerintah Hindia Belanda menjadikan Abah Aleh mendirikan Panglipur dalam sebuah gang yaitu Gang Durman yang berlokasi di sekitar pusat kegiatan perekonomian Kota Bandung di Pasar Baru. Kalau terlihat ada keramaian oleh mata-mata Belanda, maka tidak lama kemudian akan datang pasukannya menggrebek dan membubarkan kerumunan tersebut dan yang menjadi pemimpin pasti ditangkap. Oleh karena itu latihan silat dilakukan sembunyi-sembunyi.
Semakin hari semakin banyak orang yang berminat untuk menjadi murid Panglipur. Akhirnya Abah Aleh memindahkan pusat pelatihan ke Jl. Imam Bonjol No. 38 Bandung. Kegiatan masih dilakukan dengan sembunyisembunyi misalnya jika ada yang sedang berlatih maka beberapa murid berkumpul di depan rumah layaknya kumpulan para pedagang yang sedang mempersiapkan barang dagangannya. Hal itu berlangsung hingga diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Tiga puluh enam tahun kemudian tepatnya pada tahun 1945 Abah Aleh pindah ke Kampung Sumursari Desa Sukasono Kecamatan Sukawening Kabupaten Garut. Kepindahan ini tampaknya berkaitan dengan ekskalasi politik Kota Bandung pada saat itu, dimana pasca proklamasi kemerdekaan RI gejolak politik dan keamanan dalam negeri sedang memanas karena kehadiran pasukan sekutu dan adanya keinginan Belanda untuk mementahkan kemerdekaan Indonesia serta sikap seluruh rakyat Indonesia yang bersiap mempertahankan kemerdekaan. Untuk Kota Bandung sendiri puncaknya adalah peristiwa Bandung Lautan Api (24 Maret 1946), setahun setelah Abah Aleh pindah ke Garut.
Dalam masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia 1945-1950, pendekar-pendekar Panglipur turut berjuang membela bangsa. Tercatat dalam riwayat Panglipur nama Bunjali seorang murid Panglipur yang juga adalah suami Enny Rukmini tertangkap oleh Belanda karena dicurigai sebagai pemberontak (dalam kacamata Indonesia disebut pejuang) oleh karena keadaan inilah ibu muda Enny Rukmini akhirnya mengangkat senjata melawan Belanda. Ia bergabung dengan Laskar Pangeran Pakpak yang bermarkas di Wanaraja Garut di bawah pimpinan Mayor Kosasih. Dalam pasukan inilah Enny mendapat gelar baru Sekarningrat karena ia selain sebagai seorang wanita pemberani juga pendekar silat dari Panglipur. Peristiwa ini terjadi dalam tahun 1947. Dalam tahun ini juga Enny bertemu dengan suaminya Bunjali. Sebagai sesama pejuang, perpisahan tak bisa dihindari, Bunjali mendapat tugas berjuang di Cipakem dalam wilayah Kabupaten Kuningan sedangkan Enny di Ciniru. Berpisahnya tempat berjuang ini juga merupakan perpisahan seumur hidup karena Bunjali gugur di Cipakem.
Lima tahun sejak perpindahan ke Garut (1950), Abah Aleh menyerahkan pimpinan Panglipur kepada putri keempatnya, Rd. Enny Rukmini dibantu beberapa murid senior dalam mengurus dan mengembangkan Panglipur. Sebelum ke Bu Enny, kepemimpinan Panglipur pernah diserahkan kepada putra tertua Abah Aleh yaitu Udi seorang prajurit TNI Angkatan Udara berpangkat Letnan. Ia adalah kakak kandung Bu Enny. Sayang perwira muda ini meninggal dunia yang menyebabkan Abah Aleh menjatuhkan pilihan kepada Enny Rukmini.
Tahun 1950 ketika Panglipur diserahkan kepada Bu Enny, cabangcabang Panglipur telah tersebar di Jawa Barat seperti di Kabupaten Majalengka, Kuningan, Garut, Cianjur, dan Kabupaten Bandung (Ciwidey dan Lembang). Adapun di Kota Bandung telah pula berdiri cabang Panglipur seperti di Pagarsih, Babakan Jati, Buah Batu, dan Kopo.
Tahun 1957 berdiri satu lagi organisasi yang mewadahi perguruan silat bernama PPSI atau Persatuan Pencak Silat Indonesia yang diketuai oleh Mayor Jenderal Kosasih (Pangdam Siliwangi waktu itu). Panglipur bersama perguruan silat asli Sunda lainnya ikut bergabung untuk melestarikan seni beladiri pencak silat. IPSI didirikan di Surakarta tahun 1948, sedangkan PPSI berdiri di Bandung tahun 1957. Namun demikian keberadaan IPSI di wilayah Jawa Barat baru diterima tahun 1970 ketika IPSI dan PPSI diketuai satu orang yaitu H. Suhari Sapari. Ketika IPSI diterima di wilayah Jawa Barat, Panglipur juga ikut bergabung sehingga Himpunan Pencak Silat Panglipur mendapat pengakuan dari pemerintah sebagai sebuah perguruan silat resmi berskala nasional.
Sejak bergabung dalam PPSI tahun 1957, Panglipur membentuk struktur organisasi bertingkat dari mulai pengurus pusat hingga ke cabang-cabang. Kegunaan organisasi ini adalah menjadi pemersatu secara sosial sekaligus juga menjadi ikatan emosional dalam perguruan yang biasa dikenal dengan sebutan saudara seperguruan. Dalam persatuan tersebut dibuat aturan yang mengikat dengan berbagai ketentuan dan hukum apabila ada pelanggaran, kemudian menjadi wadah untuk mencapai tujuan. Tujuan utama dari terbentuknya organisasi Panglipur atau lebih dikenal dengan nama Himpunan Pencak Silat (HPS) Panglipur adalah melestarikan pencak silat sebagai budaya asli bangsa Indonesia, ikut serta dalam berbagai kegiatan persilatan baik dalam maupun luar negeri, dan menjadi duta bangsa pada event-event silat internasional.
Dari tahun ke tahun, banyak yang berkembang berbagai cabang panglipur. Mereka tetap mengikutsertakan nama Panglipur pada nama perguruan masing-masing. Misalnya Rayi Panglipur, Sinar Panglipur, Panglipur Jembar Kencana, Panglipur Pamagersari, Panglipur Siliwangi, dst. Bahkan kini cabang-cabang Panglipur telah merambah ke mancanegara dalam kurun waktu 59 tahun (1950 – 2009) telah merambah ke benua Asia, Amerika, dan Eropa. Negara-negara seperti Malaysia, Brunei, Singapura, Jepang, Arab Saudi, Belanda, Perancis, Austria, Australia, Kanada, dan sebagainya.
Sampai sekarang di Negeri Belanda telah ada 5 cabang, namun yang aktif mengikuti berbagai turnamen sebanyak tiga cabang. Sebelum tahun 2005 cabang Panglipur di luar negeri terutama wilayah Eropa adalah Belanda, Suriname, Austria negara-negara yang berdekatan dengan Belanda. Barbara Regeer dan Frans Veetman adalah tokoh-tokoh yang membesarkan Panglipur di Negeri Belanda. Barbara Reeger malah telah menjadi ketua Panglipur Amsterdam setelah sejak tahun 1993 mempelajari pencak silat dari seseorang bernama Oliver yang mengajarkannya jurus-jurus yang ada di Panglipur.
Meneer Bek (keturunan BelandaTasikmalaya) menempa diri dengan silat Panglipur di bawah gemblengan Abah Aleh. Ilmu silat yang didapatkannya kemudian dibawanya ke Belanda. Di Belanda dia kemudian mendapatkan murid-murid baru yang berminat terhadap silat sehingga sempat membuka cabang. Cabang persilatannya diberi nama Panglipur Siliwangi.
Tahun 2003 dilaksanakan festival bela diri sedunia di Prancis. Pihak penyelenggara mengundang berbagai aliran beladiri langsung dari sumber/ negara asal beladiri tersebut. Misalnya Kungfu Saolin dari Cina, Karate dari Jepang, silat dari Indonesia. Peserta dari Indonesia diseleksi oleh IPSI dan yang terpilih adalah Asep yang berasal dari Panglipur bersama seorang pesilat dari Jawa Tengah dan DKI Jakarta. Sejak itu setiap tahun Indonesia mengirimkan perwakilan dari cabang silat dan selalu masuk 3 besar.
Asep kemudian melanjutkan kiprahnya sampai ke Vietnam, kemudian menetap di sana melatih orang-orang Vietnam sehingga pada tahun 2007 tim Vietnam mampu tampil sebagai juara pada ajang Kejuaraan se-Asia Tenggara mengungguli tim Indonesia. Asep telah kembali ke Indonesia, tetapi ia sering dipanggil ke Vietnam untuk melatih silat di sana. Agus, salah satu murid senior di Panglipur dan telah memegang kepercayaan sebagai salah satu guru Panglipur mendirikan cikal bakal Panglipur di Arab Saudi. Pelatihan silat di Arab Saudi awalnya diberikan kepada warga kedutaan Indonesia di Saudi Arabia, kemudian meluas kepada warga negara tersebut.
Salah seorang murid Panglipur yang masih belia dan pernah pentas di Perancis dalam rangka festival silat di negara itu adalah Erik Rukmana. Erik Rukmana (17) tampil dalam kategori tarung bebas, saat usianya masih berkisar 10-11 tahun. Cecep Arif Rahman sendiri pernah mengajar silat di Perancis selama 3 bulan pada tahun 2006. Pelatihan ini diberikan atas permintaan warga Perancis yang berminat terhadap silat. Warga Perancis yang meneruskan pelatihan ini kemudian mendirikan cabang Panglipur di sana. Sampai tahun 2009 tercatat telah ada 60 orang yang menjadi warga Panglipur di Perancis.