Detail

Nama    TIMBANGAN
Jumlah perguruan    0

TIMBANGAN

Timbangan diciptakan oleh Rd. Anggakusumah (Oktober 1887 – 1997) di Bandung. Rd. Anggakusumah merupakan putra Rd. Haji Adra’i, Kepala Penghulu di Sumedang. Nama Timbangan diciptakan oleh Rd. Anggakusumah karena sesuai filosofi yang diyakininya. Timbangan merupakan alat ukur untuk menilai sesuatu, serta menimbang salah dan benar.

Bagi para penganutnya, Timbangan bukanlah aliran penca, melainkan suatu beladiri tersendiri. Hanya di kalangan ahli penca, Timbangan sering disebut sebagai aliran penca, karena pada awal perkembangannya Timbangan banyak dipelajari oleh ahli penca yang kemudian mengajarkan kembali ilmu ini di perguruannya bersama-sama dengan aliran penca yang telah dipelajari sebelumnya.

Sebagai sebuah aliran, keanggotan Sera cenderung eksklusif, mengingat para ahli Timbangan pada umumnya tidak mencari murid, melainkan menerima murid yang datang—itu pun jika calon murid tersebut telah memenuhi kriteria tertentu.

Berbeda dengan umumnya sistem beladiri lain, dalam pelaksanaannya, aliran Timbangan tidak bertujuan melumpuhkan lawan, melainkan untuk menyadarkan lawan bahwa pendekar Timbangan tidak beritikad buruk terhadapnya. Dengan demikian lawan dirangkul ke dalam suatu persahabatan serta hidup bersama dengan tentram dan bahagia.

Tahap pertama dalam menghadapi lawan adalah dengan berbicara dari hati ke hati, di sini sasaran serangannya adalah rohani lawan. Bila kata-kata yang lemah lembut dan sopan tidak diterima dan lawan tetap melakukan kekerasan, barulah pendekar Timbangan melakukan perlawanan yang bersifat jasmani.

Pola dasar beladiri Timbangan yang bersifat jasmani ialah merebut kedudukan sedemikian rupa sehingga lawan berada di dalam kedudukan sukar menyerang dan mudah diserang. Seandainya kedudukan seperti itu berulang-ulang atau terus-menerus dikuasai oleh pendekar Timbangan tetapi tidak dimanfaatkana untuk melakukan serangan, diharapkan lawan menyadari bahwa pendekar Timbangan yang sebenarnya telah mengalahkannya itu tidak beritikad buruk terhadapnya. Jika akhirnya lawan menyerah, maka diharapkan tidak akan menaruh dendam, bahkan akan balik menghormat serta kemudian terjalin persahabatan.

Untuk merebut kedudukan yang ideal, pendekar Timbangan akan memberikan kesempatan kepada lawan untk membuka serangan. Arus tenaga tidak ditangkis, karena aliran Timbangan tidak mempergunakan teknik tangkisan, akan tetapi dibelokkan atau dihindarkan, sehingga kedudukan lawan menjadi labil. Dalam keadaan labil inilah segera dilakukan penutupan atau perebutan kedudukan sesuai dengan apa yang dikehendaki.


Sejarah

Timbangan lahir di Bandung, dengan pendirinya Rd. Anggakusumah, putra Rd. Haji Adra’i, Kepala Penghulu di Sumedang. Ia dilahirkan di Sumedang pada Oktober 1887 dan meninggal pada 1997.

Pada masa mudanya ia aktif di organisasi Sarikat Islam di Bandung. Sifatnya yang kritis terhadap masalah sosial politik pada waktu itu mengakibatkan ia ditangkap pemerintah Hindia Belanda pada 1919 kemudian dijebloskan ke penjara Banceuy.

Di dalam penjara ia banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan lain. Bersama mereka sering dilakukan diskusi-diskusi mengenai keadaan bangsanya. Ada satu kelebihan Rd. Anggakusumah: ia tidak hanya melihat masalah bangsanya dari kacamata politik, tetapi juga ia mampu melihat dengan kacamata filsafat.

Melalui perenungan filsafat itulah Rd. Anggakusumah menemukan suatu cara agar manusia selamat dalam menjalani hidup di dunia yang fana ini. Hasil renungannya dibukukan dalam tiga buah kitab berbahasa Sunda yang disusun dalam bentuk guguritan (tembang), yaitu Guaroma (Gurinda Alam Rohani Majaji), Ibtat (Imam Bener Tetengger Allah Ta’ala), dan Satahama (Sareat, Tarekat, Hakekat, Ma’rifat). Lahirnya kitab ini dianggap sebagai lahirnya beladiri Timbangan, karena sejak itulah dimulai latihan pembelaan diri terhadap serangan yang ditujukan pada rohani. Bentuk latihannya adalah diskusi antartahanan yang dimaksudkan untuk membentuk kepribadian yang kuat.

Menurut Rd. Anggakusumah, manusia akan selamat bila memegang teguh prinsip cageur (sehat jasmani), bageur (berkelakuan baik), dan bener (berbuat benar). Ketiga unsur ini dilengkapi di kemudian hari oleh Rd. Muhyidin, salah seorang anaknya, dengan enam pegangan lain sehingga menjadi sembilan, disebut Sangawedi. Tambahannya adalah ati-ati (hati-hati), taliti (teliti), gumati (sungguh-sungguh), toweksa (cermat), wiwaha (penuh pertimbangan), dan waspada.

Tahap perenungan berikutnya adalah kenyataan bahwa banyak orang lemah yang mengalami pederitaan karena ditindas oleh orang yang kuat walau ia berada di pihak yang benar. Itulah sebabnya Rd. Anggakusumah mulai memikirkan pembelaan diri dalam segi jasmani.

Dari penjara Banceuy, Rd. Anggakusumah dipindahkan ke penjara Sawahlunto, Sumatra, yang banyak dihuni penjahat dan pembunuh. Di tempat inilah hasil renungannya sempat digunakan untuk melumpuhkan seorang narapidana gila yang mengamuk dan banyak melukai narapidana lain. Selain itu, jagoan-jagoan yang merasa iri dapat pula ditaklukkan dan disadarkannya, sehingga akhirnya menjadi sahabat Rd. Anggakusumah.

Pada 1923, Rd. Anggakusumah dilepaskan dari penjara Sawahlunto dan kembali ke Bandung, namun latihan Timbangan baru dilakukan sekitar 1928 sampai 1942. Yang berlatih Timbangan saat itu kebanyakan adalah pemuda-pemuda pergerakan dan tokoh-tokoh penca yang sudah terkenal di Bandung, di antaranya Rd. Ema Bratakusumah (tokoh kebudayaan Sunda pendiri organisasi Sekar Pakuan), Rd. Adibrata (ayahanda Rahmat Hidayat, aktor film), Memed, dan Rd. Muhyidin Anggakusumah.

Nama Timbangan diciptakan Rd. Anggakusumah karena sesuai dengan filosofi yang diyakininya. Timbangan merupakan alat ukur untuk menilai sesuatu, serta menimbang salah dan benar.

Galeri