Detail
Nama | CIKALONG | |
---|---|---|
Jumlah perguruan | 2 |
CIKALONG
Aliran Cikalong lahir sekitar akhir abad XIX di Cikalong Kulon, suatu distrik di Kabupaten Cianjur. Pencipta dan penyebar aliran Cikalong adalah Rd. Jayaperbata (berganti nama menjadi Rd. Haji Ibrahim setelah naik haji ke Mekah. Rd. H. Ibrahim adalah keturunan bangsawan Cianjur.
Perkembangan aliran Cikalong awalnya tidak begitu pesat. Ini disebabkan beberapa hal. Di antaranya Rd. H. Ibrahim sangat selektif dalam memilih muridnya. Hal ini diduga karena kekhawatiran adanya penyalahgunaan ilmu penca yang dapat membahayakan itu. Di samping itu, sebagai seorang keturunan bangsawan yang tidak membutuhkan tambahan biaya hidup dari murid-muridnya, ia dengan sendirinya dapat memilih-milih murid-muridnya. Hanya yang disukainya atau yang dianggap akan menjaga nama baik keluarganya dan aliran pencanya saja dapat menjadi muridnya. Maka dapat dipahami, kalau murid-muridnya kebanyakan berasal dari kalangan bangsawan, yaitu kelompok masyarakat dari mana Rd. H. Ibrahim sendiri dilahirkan.
Dewasa ini, aliran Cikalong tidak seeksklusif pada masa awal pertumbuhan dan perkembangannya. Dengan begitu, masyarakat umum akhirnya bisa menjadi pemilik aliran ini.
Sejarah
Cikalong diciptakan oleh seorang bangsawan Cianjur bernama Rd. H. Ibrahim. Awalnya, Rd. H. Ibrahim berguru kepada kakak iparnya yang bernama Rd. Ateng Alimuddin, seorang saudagar kuda dari Jatinegara, Jakarta (saat itu bernama Batavia). Aliran penca Rd. Ateng Alimuddin sendiri adalah Cimandé Kampung Baru. Atas petunjuk Rd. Ateng Alimuddin, Rd. H. Ibrahim disarankan melanjutkan berguru kepada Bang Ma’ruf, seorang guru penca (maen pukul) di Kampung Karet, Tanah Abang, Jakarta.
Rd. H. Ibrahim yang juga memunyai usaha jual-beli kuda kerap pulang-pergi Cianjur - Jakarta. Sewaktu di Jakarta, ia belajar penca kepada Bang Ma’ruf. Ketika belajar pada Bang Ma’ruf inilah secara tidak sengaja ia berkenalan dengan tetangga Bang Ma’ruf, bernama Bang Madi, seorang penjual kuda juga yang berasal dari Pagarruyung, Sumatra Barat.
Setelah berkenalan, akhirnya diketahui bahwa Bang Madi adalah seorang silat yang sangat tangguh. Sejak saat itu, tanpa sepengetahuan Bang Ma’ruf, Rd. H. Ibrahim mulai berguru kepada Bang Madi.
Karena Rd. H. Ibrahim seorang bangsawan yang cukup kaya, supaya lebih leluasa, Bang Madi langsung didatangkan ke Cianjur untuk mengajarinya di sana. Segala keperluan hidup untuk keluarganya ditanggung oleh Rd. Ibrahim. Dari Bang Madi diperoleh ilmu permainan rasa, yaitu sensitivitas atau kepekaan rasa yang positif sehingga pada tingkat tertentu akan mampu membaca segala gerak lawan ketika anggota badan bersentuhan dengan anggota badan lawan, serta segera melumpuhkannya.
Menurut beberapa tokoh, salah satu ciri Bang Madi adalah kemahirannya dalam melakukan “teknik bendung” atau menahan munculnya tenaga lawan, di samping “mendahului tenaga dengan tenaga”. Di kalangan aliran Cikalong teknik ini disebut puhu tanaga atau puhu gerak.
Setelah dianggap mahir, atas petunjuk Bang Madi, Rd. H. Ibrahim disarankan untuk menemui seorang tokoh silat dari Kampung Benteng, Tangerang, bernama Bang Kari. Sebelum diterima jadi muridnya, Rd. H. Ibrahim sempat dijajal dahulu kemampuannya oleh Bang Kari. Setelah tes tersebut, Bang Kari mengetahui bahwa yang datang kali ini adalah seorang pendekar yang sangat berbakat. Dari Bang Kari, Rd. H. Ibrahim mendapatkan ulin peupeuhan (ilmu pukulan) yang mengandalkan kecepatan gerak dan tenaga ledak.
Selain dari keempat tokoh di atas, Rd. H. Ibrahim banyak berguru pada tokoh-tokoh lain. Ada yang mengatakan bahwa ia belajar kepada tujuh belas orang guru.
Dari hasil berguru tersebut, Rd. H. Ibrahim lalu melakukan perenungan selama tiga tahun dengan cara berkhalwat di sebuah gua di Kampung Jelebud di pinggir Sungai Cikundul Leutik, Cikalong Kulon, Cianjur. Dari sinilah terbentuk cikal-bakal aliran Cikalong. Nama Cikalong diberikan oleh para pengikutnya dengan mengambil nama tempat di mana Rd. H. Ibrahim memulai aliran penca Cimande.
Karena cara Rd. H. Ibrahim mengajar selalu disesuaikan dengan keadaan badan, bakat, serta kesenangan murid, tidak mengherankan bila banyak murid Rd. H. Ibrahim yang memunyai permainan yang berbeda satu sama lain. Misalnya, Rd. H. Tarmidi yang menyukai ameng peupeuhan (permainan yang banyak mengandalkan pukulan), sementara Rd. Obing lebih senang menggunakan ulin rasa atau ulin tempelan yang mengandalkan kehalusan rasa. Demikian juga pada generasi berikutnya. Rd. Muhyidin lebih sering menggunakan usik puhu yang selalu mendahului gerak lawan, sedangkan Rd. Idrus lebih menyukai usik tungtung yang melakukan serangan balik ketika serangan lawan sudah habis.
Pada era yang sama, di Cianjur juga terdapat seorang tokoh silat bernama Muhammad Kosim yang berasal Pagarruyung dan tinggal di Kampung Sabandar, Cianjur. Muhammad Kosim lebih terkenal dengan panggilan Mama Sabandar. Ia mengajarkan ilmunya kepada beberapa bangsawan Cianjur, yang juga merupakan murid dari Rd. H. Ibrahim, di antaranya Rd. H. Enoh, sehingga pada perkembangan selanjutnya di Cianjur terdapat aliran Cikalong-Sabandar yang merupakan gabungan dari aliran Cikalong dan aliran Sabandar.
Rd. H. Ibrahim meninggal pada tahun 1906 dan dimakamkan di pemakaman keluarga Dalem Cikundul, Cikalong, Cianjur.